Hari 24 — Malam Natal
Hari terakhir #AdventCalendar. Sebelum memulai, kayaknya gua perlu mengakui kesalahan. Gua merasa bersalah karena dalam 23 hari sebelumnya gua nggak pernah menulis tentang Natal, atau bahkan tentang masa Adven itu sendiri. Agak ironis juga ya padahal tema besar seri tulisan kali ini adalah … #AdventCalendar.
Roller-coaster
Banyak hal yang gua rasakan dalam 24 hari ke belakang. Mulai dari senangnya jatuh hati dengan seseorang, pedihnya merasakan PHK untuk pertama kalinya, hingga sukacita bermain sepakbola sambil hujan-hujanan. Mungkin masih banyak hal lain yang gua rasakan, tapi itu dulu cukup kali ya.
Sejujurnya, masa Adven kali ini hampir gua lalui dengan datar. Datar dalam arti di tengah banyak perasaan yang berkecamuk namun gua sama sekali nggak merenungkan Natal itu sendiri. Beruntung, ada satu momen yang membuat gua akhirnya bisa merenungkan Natal kali ini.
Peristiwa itu terjadi di awal Desember 2021, kala seorang terkasih mengajak gua untuk bersaat teduh bareng dengan membaca renungan bersama. Renungannya diambil dari buku Come, Let Us Adore Him: A Daily Devotional karya Paul David Tripp. Sejujurnya gua sempat agak ragu dengan ajakan beliau. Pertama, karena sudah lewat tanggal mulai (dia ngajak tanggal 5 atau 6). Dan kedua, karena gua udah lama banget nggak baca buku rohani dengan orang lain.
Bersyukur sih karena gua mengiyakan tawaran tersebut. Gua jadi bisa merenungkan makna Natal tahun ini, ditambah bisa melakukannya dengan orang terkasih untuk bertumbuh bersama. Gua merasa beruntung.
Natal
Sebelum membuat tulisan ini, tadi gua melihat postingan Instagram seorang teman di mana dia mengeluh bahwa dirinya nggak merasakan apapun di Natal tahun ini. Gua cukup merasa sedih ketika membacanya. Tapi, gua mungkin bisa mengerti alasan di balik itu.
Si teman ini baru aja masuk ke dunia kerja setelah lulus dari kampus. Tentu, dunia ini jelas berbeda dengan dunia (persekutuan) kampus, di mana kita bisa mempersiapkan dan merayakan Natal dengan jauh-jauh hari. Gua sendiri belum lama menyadari hal tersebut.
Satu hal yang gua sadari ketika sudah terjun dari nyamannya dunia persekutuan ke kejamnya dunia kerja adalah bahwa kita nggak punya banyak waktu lagi untuk haha-hihi. Kita juga mungkin nggak punya (banyak) waktu lagi untuk bertemu kawan seiman, beribadah, berdoa bareng, dan lain sebagainya. Dunia kerja adalah dunia yang keras, yang bergerak dengan cepat, dan nggak peduli dengan perasaan kita.
Saran gua bagi teman-teman yang mungkin sedang merasakan hal yang sama hanya satu: nikmatilah. Nikmatilah waktu yang tersedia bersama keluarga meskipun hanya sedikit. Nikmatilah kesempatan untuk merenungi Natal meskipun nggak banyak. Dan, karena gua sudah bisa mulai berdamai dengan kenyataan ini, gua merasa beruntung.
Harapan
Satu hal yang masih mengganggu gua di masa Adven kali ini adalah dosa-dosa pribadi. Entah bagaimana gua masih sering terjerumus — bahkan menjerumuskan diri — ke dalam dosa-dosa tersebut. Gua seringkali merasa seperti sampah, nggak layak, dan seperti ingin mati aja. Bahkan nggak jarang gua sulit tidur karena memikirkan, “Kenapa sih hidup gua begini terus?”
Masa Adven kali ini hampir aja gua habiskan hanya dengan bergelut dalam dosa dan terus berduka karenanya, mirip dengan catatan yang gua buat tahun lalu. Tapi, dalam beberapa hari ke belakang ada satu hal yang berulang kali gua dapatkan, yaitu fakta bahwa Allah punya rencana besar untuk menyelamatkan dosa-dosa manusia.
Maksudnya?
Di dunia ini nggak ada manusia yang cukup hebat untuk untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Nggak ada manusia yang sanggup untuk menebus dosanya sendiri. Oleh karena itu, nggak ada manusia yang layak untuk hidup bersama Allah di dalam kekekalan.
Tapi, Allah mengasihi kita. Dia menyediakan jalan bagi kita untuk kembali kepada Dia. Allah menyediakan harapan bagi manusia untuk lepas dari keberdosaannya untuk dapat hidup bersama-Nya. Jalan itu bernama Yesus Kristus; Putra Allah yang kelahirannya akan kita peringati besok.
Sebagai seorang yang masih bergelut tiada henti dengan dosa-dosa pribadi, gua merasa nggak layak. “Kok Tuhan mau sih nyelametin orang kayak gua begini? Kenapa nggak bunuh gua aja, Tuhan? Kan kalo begitu masalahnya selesai,” pikir gua saban hari. Tapi Tuhan baik. Dia mau-mau aja menyelamatkan orang kayak gua, kayak kita, yang selalu menyakiti hati-Nya. Dia mau supaya di Natal ini kita menerima-Nya dalam hati kita, bertobat, dan hidup sesuai dengan yang Ia mau. Dan atas harapan itu, kita seharusnya merasa beruntung.
Yesaya 53:1–6 (TB)
53:1 Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan? 53:2 Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. 53:3 Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. 53:4 Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. 53:5 Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
Selamat merayakan Malam Natal, teman-teman.
I’m Petrick Sinuraya, a 24-year-old football writer based in Indonesia. Currently, I’m working for one of Indonesia’s biggest football media outlets.
For inquiries, please contact me at petricksinuraya@gmail.com.