Dukacita Natal
Selamat Natal, semuanya!
Semoga teman semua bisa merayakan Natal (dan/atau liburan) kali ini dengan penuh sukacita dan kedamaian bersama keluarga. Teman-teman mungkin lebih mengenal saya sebagai seorang penulis di bidang olahraga, khususnya sepakbola.
Untuk hari ini, izinkan saya untuk bergerak di luar jalur.
Saya sudah cukup lama menggunakan aplikasi Medium, kira-kira sejak tahun 2016. Tapi sayangnya, blog ini cuma diisi artikel-artikel rumit tentang sepakbola (berbahasa Inggris pula!). Oleh karena itu, saya akan mulai mencoba untuk membuat tulisan-tulisan dengan tema lain.
Adalah kolega saya (halo, mas Wendi Faiz!) yang menjadi inspirasi akan hal ini. Tepat sebelum saya membuat tulisan ini, saya sempat nge-stalk akun instagram dan blog pribadinya. Dan setelah saya pikir-pikir, apa salahnya untuk mencoba keluar dari kotak?
The Jesus Mysteries
Saya lupa hari apa tepatnya, tapi yang jelas peristiwa ini terjadi di bulan Desember 2020. Kala itu saya sedang bersantap sambil mencari tontonan di televisi. Seperti biasa, saluran National Geographic menjadi andalan saya. Uniknya, kala itu NatGeo sedang menayangkan satu program berjudul The Jesus Mysteries.
Hmm, menarik.
Program ‘rohani’ yang pernah saya nikmati di NatGeo sebelumnya hanyalah The Story of God. Itu lho, yang dipimpin oleh Morgan Freeman. Dalam TSoG, bapak (yang selalu terlihat) tua itu berkeliling dunia untuk mencari tahu berbagai kaitan antara manusia, Tuhan, dan agama. Berdasarkan pengalaman ini maka saya putuskan untuk menonton The Jesus Mysteries.
TJM hari itu membahas tentang tujuh misteri/mitos tentang Yesus Kristus. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah ketika mereka membahas tentang kelahiran-Nya. Mungkin karena sedang suasana Adven? Bisa saja. Tapi ternyata apa yang saya tonton itu menjadi salah satu hal yang saya paling nikmati dalam suasana Natal kali ini.
Tanda dukacita
Emas, kemenyan, dan mur (Matius 2:11). Semua orang Kristen tentu tahu ‘hadiah’ apa saja yang diberikan oleh tiga orang majus bagi Yesus saat itu. Tapi, apa makna ketiga persembahan tersebut? Mungkin hanya segelintir yang paham.
Berdasarkan penjelasan TJM (dan tentunya riset yang saya lakukan), emas menyimbolkan kekayaan. Sudah tentu merupakan persembahan yang tepat bagi Sang Raja. Di sisi lain, kemenyan merupakan wewangian yang umum dipakai dalam ibadah; menyimbolkan keilahian Kristus.
Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah mur.
Pada masa itu, mur sering dipakai dalam balsem dan rempah bagi jenazah. Saya pikir mungkin Yusuf dan Maria cukup kaget ketika menerima persembahan tersebut. Jika kedua orangtua Yesus hidup pada hari ini, mungkin hadiah yang mereka dapatkan adalah formalin. Bayangkan betapa terkejutnya mereka saat itu!
Dan benar saja, mur memang menyimbolkan kematian. Yesus turun ke bumi untuk menebus dosa manusia dan mati di atas kayu salib. Kita semua tahu Yesus hidup selama sekitar 30 tahun sebelum akhirnya menderita dan wafat di Golgota. Tapi, ada orang-orang lain yang menderita bahkan tidak lama setelah Sang Bayi lahir ke dunia.
Pembantaian di Betlehem
Maaf jika saya menggunakan subjudul yang terlihat agak keras. Alkitab LAI ‘hanya’ memberi judul perikop Pembunuhan anak-anak di Betlehem (Mat. 2:16–18). Bagi saya, peristiwa ini lebih dari sekadar pembunuhan.
Di dalam Mat. 2:16 dikatakan bahwa “… Lalu ia (Herodes) menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, …”
Makhluk sekejam apa yang secara sadar dan sengaja menyuruh orang lain untuk membunuh para bayi yang masih begitu lugu? Bahkan bukan hanya satu-dua saja, melainkan semua anak berusia 2 tahun ke bawah yang ada pada saat itu. Alasannya pun agak egois, yaitu karena takut kehilangan jabatan sebagai raja atas orang Yahudi.
Saya memang belum mempunyai anak (boro-boro punya anak, punya pacar saja belum!). Tapi, saya mungkin bisa sedikit merasakan apa yang dirasakan para orangtua pada saat itu. Bayi yang sedang lucu-lucunya harus rela untuk dirampas dari pelukan mereka untuk kemudian dibunuh atas perintah Herodes. Hancur.
Pembantaian tersebut mengingatkan kita bahwa natal Kristus dan dukacita adalah dua hal yang tidak dapat dilepaskan.
Kristus datang untuk mati
Saya cukup suka dengan serial Harry Potter. Dalam Harry Potter and the Deathly Hallows (khususnya bagian II kalau versi film), ada satu percakapan menarik antara Severus Snape dengan Albus Dumbledore. Kala itu Snape berkata, “Now you tell me you have been raising him like a pig for slaughter…” setelah Dumbledore menyatakan bahwa Potter harus mati di tangan Voldemort.
Saya — bersama dengan penyuka serial Harry Potter yang lain — tentu merasa pedih ketika mendengar hal itu. “Masa jagoannya mati sih? Sedih banget”, mungkin ini yang ada di pikiran kami kala itu. Kisah khayalan hasil karangan JK Rowling ini saja sudah sukses membuat orang-orang sedih. Lalu bagaimana jika benar ada orang yang datang ke dunia hanya untuk mati?
Orang itu benar ada, dan nama-Nya adalah Yesus. Dia rela turun ke dunia, mengambil rupa seorang hamba, menderita, dan mati di kayu salib. Yesus Kristus datang untuk mati. Mati untuk menebus dosa manusia.
Mengapa Dia harus mati?
Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa dan hukuman bagi dosa adalah kematian.
Mengapa Dia mau mati bagi kita?
Karena kasih-Nya begitu besar bagi manusia, dan Dia ingin semua manusia hidup kekal bersama-Nya. Satu-satunya cara agar hal itu bisa terjadi adalah Dia sendiri yang berkorban untuk menjalani maut yang begitu hina.
Apakah manusia harus berdosa?
Saya percaya bahwa manusia tidak harus berdosa. Manusia memang tidak ada yang sempurna, dan semuanya telah jatuh ke dalam dosa. Tetapi, Allah memberikan manusia pikiran dan akal budi. Manusia dapat menggunakan akalnya untuk memilih tidak melakukan dosa.
Saya diingatkan tentang hal ini ketika mengikuti salah satu webinar yang diadakan oleh gereja tempat saya berjemaat, yaitu GPIB Kasih Karunia, Parung Serab. Kala itu saya mengajukan satu pertanyaan pada sesi tanya-jawab. Pertanyaannya kira-kira berbunyi seperti berikut,
“Di tengah pandemi ini manusia merasakan gelisah, tidak damai, dan takut. Mulai dari takut tertular, takut menularkan, bahkan takut mati. Meskipun demikian, adanya pandemi ini tidak membuat saya dan kita hidup semakin dekat dengan Allah. Maksudnya, keberadaan pandemi ini seakan tidak mendorong manusia untuk meninggalkan dosanya dan bertobat. Padahal, manusia seharusnya lebih takut untuk berbuat dosa daripada takut terkena penyakit. Apa yang bisa kita lakukan untuk hidup lebih takut akan Allah di tengah situasi pandemi ini?”
(maaf, saya kalau nanya memang sering panjang-panjang. Haha)
Di luar perkiraan saya, Bapak Pdt. Abraham Ruben Persang yang membagikan Firman saat itu memberikan jawaban kira-kira sebagai berikut,
“Kita manusia diberikan pilihan oleh Allah. Kita bisa memilih untuk taat atau berbuat dosa. 2000 tahun yang lalu, Maria juga punya pilihan, dan dia memilih untuk taat menjalani rancangan Tuhan bagi-Nya.”
Sejujurnya saya tidak mengira akan mendapat jawaban seperti itu. Tahun 2020 ini bukan merupakan tahun yang baik secara rohani bagi saya, karena acapkali saya (men)jatuh(kan diri) ke dalam dosa. Berulang kali saya secara sadar dan sengaja menyakiti serta mendukakan hati Allah dengan hidup jauh dari-Nya. Saya bahkan tidak jarang berpikir dalam hati, “Apa gunanya saya berdoa dan baca Alkitab kalau tiap hari begini terus?”
Tapi bersyukur, saya disadarkan bahwa kita punya pilihan. Kita dapat memilih untuk taat dan menjauhi dosa atau hidup di dalamnya. Tentu, kita tahu kan harus memilih yang mana?
Dukacita Natal
Yesus Kristus datang untuk mati. Hal ini telah dinubuatkan jauh sebelum kelahiran-Nya, dan bahkan diingatkan kembali melalui kisah tiga orang majus dengan persembahan mereka.
Pada hari ini, saya berduka karena saya sadar bahwa saya masih hidup di bawah bayang-bayang dosa. Saya juga berduka karena saya tahu ada Pribadi yang rela datang ke dunia dan mati demi menjalani hukuman yang timbul karena dosa-dosa saya.
Kiranya teman-teman dapat merenungkan makna Natal dengan cara yang Tuhan kehendaki bagi masing-masing. Salam!